Rakyat Miskin Ekstrem Wilayah Pesisir Indonesia dan Asia Tenggara: Butuh Perbaikan Regulasi Skala Nasional

Kamis, 9 Juni 2022 - 12:46 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DETIKINDONESIA.CO.ID – Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) bersama ASEAN dan China, mengenai Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan, diperkirakan 36 juta orang di Asia Tenggara masih hidup di bawah garis kemiskinan, dimana 90 persennya tinggal di Indonesia dan Filipina. Diantara 36 juta orang itu, 76 % berasal dari masyarakat pesisir (nelayan) dan pekerja industri perikanan.

Data tersebut, terkonfirmasi mengalami penurunan populasi manusia setelah terjadinya wabah virus Corona 2019 lalu hingga sekarang. Kalau dikonversi pada data jumlah kematian dan kemiskinan, maka bisa terjadi tiga kali lipat yang mengalami depresi dalam hidupnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan antar keluarga.

Menurut laporan itu, kemiskinan ekstrem di Asia Tenggara turun dari 17 persen pada 2005 menjadi 7 persen tahun 2013. Pada 2018 lalu masih stagnan, hanya turun sekitar 2 %. Tetapi banyak kaum miskin nelayan (masyarakat pesisir) yang bekerja tetap rentan di garis kemiskinan. Pada tahun 2020 hingga 2022 justru kemiskinan bertambah sekitar 11,5% di Asia Tenggara. Ketajaman naik seiring peningkatan wabah virus yang melanda seluruh dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Riset independen Maret 2022 dari Asian Development Bank (ADB) laporkan bahwa ekonomi dunia, khusus di Asia Tenggara mengalami rontok usai ‘terinfeksi’ pandemi Covid-19. ADB paparkan sebanyak 4,7 juta masyarakat di Asia Tenggara terjerumus ke zona kemiskinan paling ekstrem dalam dua tahun terakhir gegara Covid-19 sehingga menyebabkan ketidaksetaraan itu tergerus. Kemiskinan itu meningkat di kalangan perempuan, buruh migran, nelayan, buruh industri perikanan, pekerja muda, dan lansia di Asia Tenggara.

Selain angka kemiskinan ekstrem yang bertambah 4,7 juta selama pandemi. Juga ada sekitar 9,3 juta orang kehilangan pekerjaan di Asia Tenggara sepanjang 2021 dan belum pulih pada 2022 akhir dari pandemi. Sebagian dari mereka adalah pekerja yang tidak memiliki keterampilan khusus, tenaga kerja perempuan di sektor ritel dan informal, serta usaha kecil yang tidak mampu memanfaatkan pasar online. Lebih ekstrem lagi buruh industri perikanan tidak lagi bisa bekerja secara total seperti semula.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2017 – 2020, jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan capai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk. Pada 2021 meningkat angka kemiskinan ekstrem di Indonesia setelah dilanda krisis pandemi covid-19. Data yang terupdate tahun 2021 di 35 Kabupaten di 7 Provinsi dengan 24 Kabupaten diantaranya berada di wilayah pesisir. Pada tahun 2022, pemerintah perluas cakupan kemiskinan ekstrem di 212 Kabupaten dan Kota di 25 Provinsi dengan 147 Kabupaten dan Kota sama dengan 69,34 persen berada di wilayah pesisir.

Baca Juga :  Usahawan Inovator

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ini tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4 persen atau berjumlah 10,86 juta jiwa dari tingkat angka kemiskinan nasional yang masih sebesar 10,14 persen atau sebanyak 27,54 juta jiwa. Sementara itu, tingkat kemiskinan ekstrem khususnya di wilayah pesisir relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya dan memiliki persoalan yang lebih kompleks. Tingkat kemiskinan di wilayah pesisir sebesar 4,19%, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Dari jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 10,86 juta jiwa, 12,5 persen atau 1,3 juta jiwa diantaranya berada di wilayah pesisir.

ILO Asia Tenggara merilis data pekerja di sektor industri Perikanan. Hingga 2014 lalu, jumlah nelayan Asia mencapai 84,3 persen dan dari Asia Tenggara sebanyak 11 persen. Jumlah Indonesia yang terbanyak, sekitar 2,2 juta, sedangkan Myanmar di urutan kedua dengan 1,4 juta nelayan. Itu pada 2014 lalu, sekarang tahun 2018 jumlah nelayan pekerja bertambah menjadi 3,1 Juta. Penambahan jumlah itu, seiring industri baru tumbuh diberbagai sektor kelautan dan perikanan. Data 2018 dihitung berdasarkan jumlah pendapatan, keluarga, dan industri yang tumbuh.

Selama September 2016 – Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 188,19 ribu orang dari 10,49 juta orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017. Sementara, di daerah pedesaan (bukan pesisir / nelayan) turun sebanyak 181,29 ribu orang dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017.

Angka laporan ASEAN ada kesamaan dengan kenyataan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta. Jadi sisanya ada di Filipina. Penyebabnya adalah kebijakan ekonomi yang tidak tepat dan tak afirmatif terhadap rakyat miskin, nelayan dan masyarakat pesisir umumnya. Angka kemiskinan ekstrem di Indonesia saat ini hanya 0,8 persen dengan garis kemiskinan di bawah Rp.350 ribu per kapita per bulan. Termasuk nelayan dan masyarakat pesisir.

Menurut Organisasi PBB untuk Pekerja (ILO) mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk meratifikasi konvensi yang melindungi hak asasi manusia (HAM) pekerja industri perikanan. Pahun 2018 jumlah nelayan Indonesia pekerja bertambah menjadi 3,1 Juta. Sejauh ini, belum ada negara kawasan yang punya regulasi khusus untuk melindungi hak-hak pekerja industri perikanan, padahal mereka rentan jadi korban perdagangan manusia maupun kejahatan internasional lain.

Baca Juga :  Menunggu Putusan MK Tentang Sistem Pemilu Terbuka atau Tertutup?

Pada tahun 2018 terdapat sekitar 960.000 buruh migran Indonesia yang bekerja di pelayaran, baik sebagai pelaut maupun anak buah kapal dan separuh di antaranya di industri perikanan. Kenaikan satu persen jumlah berdasarkan data tersebut. Asumsi gaji Rp.10 juta per bulan, tiap bulan mereka menghasilkan sekitar Rp
4,5 triliun devisa.

Melihat dan mengamati banyak masalah konflik antara buruh dengan industri perikanan. Maka, penting sekali ada langkah perlindungan pekerja sektor perikanan karena sangat rentan jadi korban perdagangan manusia, eksploitasi, dan perbudakan. Paling banyak pekerja laki-laki dibanding perempuan. Tetapi, hampir semua kondisinya tidak alami tekanan, perbudakam dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Pekerja industri perikanan menghadapi situasi lebih berbahaya dibanding sektor lain karena jam kerja panjang, kondisi cuaca ekstrem, dan lingkungan laut yang berisiko tinggi. Meski belum ada angka yang pasti, sebagian besar pekerja di kapal-kapal ikan merupakan buruh migran dan pekerja industri perikanan dominan tenaga kerja lokal. Tetapi sering mengalami tekanan dan PHK.

Persoalan kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir juga relatif lebih kompleks, karena kelompok miskin ekstrem di wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik. Pertama, dari aspek demografi, anggota rumah tangga miskin ekstrem di wilayah pesisir lebih besar dibandingkan wilayah lainnya dengan rata-rata umur kepala rumah tangga yang lebih produktif. Kedua, dari aspek pendidikan, kepala rumah tangga miskin ekstrem di wilayah pesisir sebagian besar tidak bersekolah dan hanya lulusan SD.

Ketiga, dari aspek perumahan, kelompok miskin ekstrem di wilayah pesisir memiliki akses sanitasi, air bersih, dan penerangan yang kurang memadai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keempat, ketenagakerjaan sebagian besar memiliki pekerjaan namun terkonsentasi pada kelompok yang berusaha sendiri atau berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.

Kelima, dari aspek infrastruktur, menurut Wapres akses sistem komunikasi, jasa pengiriman, dan penerangan di wilayah pesisir perlu diperbaiki. Keenam, kerentanan relatif lebih rawan terutama terkait dengan gizi buruk dan keberadaan pemukiman kumuh atau di bantaran sungai. Akses layanan dasar, akses sekitar kesehatan relatif lebih buruk, terutama terkait rumah sakit bersalin dan poliklinik.

Baca Juga :  Sedikit Tentang Budaya Lapago Lembah Baliem Jayawijaya Papua

Pekerja industri perikanan menghadapi dua tantangan utama: ketidakjelasan rekrutmen dan penempatan serta eksploitasi tenaga kerja saat bekerja di kapal. Rentannya pekerja industri perikanan menjadi korban perdagangan manusia dan kejahatan internasional. Banyak perusahaan di industri perikanan, belum tahu standar layak untuk pekerjanya. Parahnya lagi, belum ada satu pun mekanisme untuk melindungi pekerja industri perikanan di tingkat regional.

Kasus perbudakan di kapal ikan di Benjina dan Ambon maupun ditempat lain. Maka, perlunya perlindungan HAM bagi pekerja industri perikanan, terutama buruh kapal (ABK). Selain harus mengembalikan para buruh kapal ke negara asal, pemerintah Indonesia juga harus meratifikasi hukum internasional untuk melindungi buruh migran sektor perikanan.

Pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan untuk sebagian besar penangkapan ikan, berupaya membersihkan pemburu asing yang mengambil miliaran dolar dari sumber daya makanan laut dari perairan negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai hasilnya, ratusan kapal asing sekarang berlabuh di Benjina, membuat sampai 1.000 budak terdampar di pantai. Hal itu juga terjadi di pelabuhan – pelabuhan internasional dan domestik di Indonesia.

Pemerintah mencoba menegakkan aturan yang melarang kapal kargo mengambil ikan dari Indonesia. Praktik ini memaksa para penangkap ikan tinggal di perairan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, pada dasarnya menciptakan penjara mengapung. Penting agar negara-negara kawasan Asia untuk melindungi pekerja industri perikanan. Sebab, jika hanya satu negara yang melindungi, akan susah karena kapal bergerak dari satu negara ke negara lain.

Di beberapa industri perikanan Asia dan Indonesia sendiri, buruh laki-laki dan perempuan, banyak menderita akibat absennya penegakan hak-hak dan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia. Isu upah rendah, diskriminasi jender, pelanggaran di tempat kerja, pemotongan upah, serta keterlibatan buruh anak dan kerja paksa merupakan permasalahan yang belum terungkap.

Sebuah studi berjudul Precarious Work in the Asian Seafood Global Value Chain yang dirilis dalam Konvensi ILO di Jenewa untuk organisasi penegakkan HAM dan hak-hak buruh perikanan, bahwa penyiksaan pekerja dalam rantai suplai industri perikanan global harus dihentikan dan dapat melindungi pekerja. Kasus perbudakan di kapal-kapal di Indonesia, memperpanjang rentetan sejarah pelanggaran terhadap buruh.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Rusdianto Samawa
Editor : Michael
Sumber :

Berita Terkait

Konflik Politik dan Resolusi
Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik
Politik di Spice Islands
Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua
Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat
Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden
Kerek Lamok dan Wunuk Kerek
Perempuan Lani dan Cawat Tali

Berita Terkait

Kamis, 21 November 2024 - 13:20 WIB

Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik

Rabu, 20 November 2024 - 15:49 WIB

Politik di Spice Islands

Jumat, 15 November 2024 - 21:27 WIB

Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua

Minggu, 10 November 2024 - 12:57 WIB

Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat

Selasa, 5 November 2024 - 16:12 WIB

Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden

Minggu, 27 Oktober 2024 - 20:20 WIB

Kerek Lamok dan Wunuk Kerek

Minggu, 27 Oktober 2024 - 20:13 WIB

Perempuan Lani dan Cawat Tali

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 15:14 WIB

Sahabatku, Sukiman Yang Syahid Dalam Mencari Nafkah

Berita Terbaru

Daerah

Soal Kasus Korupsi Bank BPRS, Kejari Halsel Di Demo 

Minggu, 22 Des 2024 - 12:54 WIB