Oleh: Ismail Asso
NAI HAWOLOK
A. Pendahuluan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya dulu sering menulis “keras”, misalnya berjudul: “Indonesia Pencuri dan Pembunuh”.
Karena itu wajar kalau kemudian saya dikelompokkan dalam kelompok “garis keras”.
Kelompok “garis keras” adalah julukan kelompok perjuangan bersenjata TPNPB/OPM di hutan-hutan Penungan-dan Pesisir Papua.
Kelompok ini dikenal umum “garis keras”. Media mainstrem sebut TPNPB/OPM di Rimba Raya, yang sering disebut KKB oleh TNI/POLRI, dibawahnya ada kelompok DEMMAK (Dewan Masyarakat Koteka).
Seperti diduga dari namanya, umumnya para anggota DEMMAK adalah masyarakat “Koteka”, Pegunungan Tengah Papua (PTP).
Bagi TPNPB/OPM di Rimba Raya, perjuangan kemerdekaan dan pembebasan Papua berdaulat penuh, harus ditempuh dengan peperangan untuk mengusir penjajah.
Demikian juga dengan pendirian penulis selama ini menunjukkan hal ini. Sebab itu adat dan budaya kami yang memang perang sebagai sendi dari kehidupan dan keagamaan (religi).
Secara cultural, penulis tidak terpisahkan dari kelompok masyarakat ini. Sehingga ekspresi yang kemudian terlihat dalam tulisan saya selalu masuk dalam kategori kelompok “garis keras”.
Kenapa demikian? Karena apa yang dirasakan mereka sebagai luka, juga luka bagi saya. Apa yang dirasakan sebagai kesedihan, juga kesedihan saya, apa yang dirasakan kekalahan dan terusir dari tanah dan kampung halaman, juga dirasakan oleh saya sebagai pengghinaan oleh penjajah. Semua kesenangan, kegembiraan juga kesenangan kegembiraan bagi saya. Sebagai suatu unit suku dan marga saya tidak dapat terpisahkan dari semua apa yang dialami. Secara emosional kami diikat oleh satu semangat, yaitu semnagat Kaneke atau Adat-Budaya. Kami disatukan olehsemangat orang gunung, masyarakat koteka dan berbagai stigma lainnya yang bersifat negatif maupun yang bermakna positif.
Lalu mengapa kini ada perubahan sikap saya? Malahan saya seakan bersikap melunak
(moderat) yang sesungguhnya bukan karaktek kami, orang Papua, orang gunung, masyarakat koteka, yang indentik dengan kelompok “garis keras” ? Bahkan saya sekarang seakan sudah tidak ada gigi untuk menulis “keras”, malah sebaliknya lebih akomodatif dan moderat dalam pemikiran? Apalagi diperhatikan artikel terakhir, saya bisa dikatakan oleh kaum saya, “kaum koteka” di PTP: ‘Kau sudah tidak seperti yang dulu lagi’, untuk meminjam judul lagu nostalgia, Pance Pondaag.
Mungkin ada rasa penasaran para pembaca yang budiman, bahwa saya sudah melunak terhadap penjajah, entah siapun penjajah dimaksud disini. Hal ini jika diamati dari tulisan saya yang lebih menekankan pentingnya aspek domokrasi dan HAM dalam
perjuangan OPM. Saya malah bisa di tuduh asal main tabrak, tanpa ada peringatan lampu kuning dan langsung saya menulis arti pentingnya demokratisasi gerakan
perjuangan OPM. Bahkan memasukkan kelompok lain yang selama ini “dianggap” secara nyata-nyata sebagai bagian tak perpisahkan dari kekacauan; pembunuhan, perampasan, penindasan, penjajahan dan penghinaan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua untuk turut ambil bagian dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka.
Kepada mereka, (Amber dan muslim), saya dan masyarakat suku saya, “masyarakat koteka”, saya anjurkan untuk bersikap moderat. Hal ini misalnya terlihat dari tulisan terakhir berjudul : “Membangun Konsep Baru Perjuangan Papua Kedepan”. Bahkan lebih jauh saya seakan-anak mau menarik gerbong kereta yang isinya amber lagi muslim dan membawa masuk dalam perjuangan kemerdekaan perjuangan OPM. Dengan demikian kelompok Muslim pendatang (amber), untuk ikut serta ambil bagian dalam apa yang dinamakan perjuangan Papua Merdeka.
Atas semua pertanyaaan atau lebih tepatnya rasa penasaran semua ini, maka perlu
diklarifikasi disini bahwa saya sama sekali tidak berubah, saya tetaplah saya, sebagai yang “garis keras”, orang gunung, masyarakat koteka dalam kesatuan wilayah PTP. idealisme saya tetap bahwa apapun dan bagaimanapun Papua Merdeka adalah yang utama dan yang terutama. Demikian juga dengan sikap dan prinsip saya bahwa tidak sedikitpun dalam diri ini ada yang berubah. Bagi saya bahwa musuh utama yang menjadi prioritas untuk kita usir dari Tanah Air Papua Barat adalah penjajah Indonesia.
Juga bagi saya Indonesia dengan konsep NKRI-nya adalah musuh dan penjajah yang menjajah kita Bangsa Papua Barat. Maka kita, orang Papua semua wajib melawannya, apapun perlawanan itu termasuk dengan perlawanan bersenjata. Jadi pertanyaannya
adalah, Kamung Orang Papua, takutka… sama Penjajah Indonesia ? Ah, Indonesia
saja mo…bukan negara besar atau modern, dorang negara terbelakang juga, sama deng kitong juga secara peradaban sciance dan tekhnologi. Masalahnya tinggal bagaimana kita mengusirnya dari Tanah Air kita Papua Barat, itu saja yang kita belum bersepakat bersama dan saat ini kita terus mencari persamaan persepsi
menuju mengarah kesana.
Indonesia yang datang menjajah Bangsa Papua Barat yang dialami kita semua adalah usaha orang Papua bersama bagaimana mengusir Indonesia bersama kapitalismenya yang menghina kita sebagai sebuah Bangsa dan Negara Papua Barat yang berdaulat adalah pemikiran dan perhatian kita bersama. Disamping itu diatas sudah disinggung bahwa, kenyataan, bahwa saya baik secara cultural dan emosional tetaplah orang Papua.
Secara primordial (pembawaan sejak lahir) kita satu dan sama dalam perasaan ikatan primordialisme, kita sebagai masyarakat dalam satu kebudayaan, kebudayaan
PTP dan akhirnya juga kebudayaan Papua. Karena itulah yang mengikat kita bersama nasib dan semangat perjuangan membebaskan diri secara bermartabat, dan bahwa kita membenci musuh-musuh, penjajah Indonesia yang datang menaklukkan negeri kita Papua Barat, menyebabkan kita terhina diatas tanah air kita sendiri yang kaya raya dimata bangsa lain.
ISSU BAHAYA ISLAMISASI
Saudara-Sauraku kaum Kristiani sangat menderita oleh akibat “islamisasi” yang sangat meresahkan, menghawatirkan dan momok menyakitkan, bagi mayoritas penduduk Papua yang sebelumnya sudah menerima Injil dan menganut agama moyoritas Kristiani. Kelompok muslim dengan dukungan pusat, dari pemerintahan penjajah membangun sekian ribu masjid, bahkan hal itu di pemukiman mayoritas Saudara-Saudaraku kaum Kristiani. Demikian itu terbaca dalam buku misalnya dalam buku Dr. Benny Giay, (Gembalakanlah Umatku, 1997), dan terakhir dalam buku Sadius Wonda yang berjudul ; (“Tenggelamnya Ras Melanesia”).
Proyek pusat dengan kedok agama, sebagai bentuk lain penjajahan budaya dan adat Papua begitu menghebat. Bahkan proyek “islamisasi” dalam era Otonomi Khusus sangat menggila dan merajalela. Demikian agaknya dirasakan hal tersebut menggejala di seluruh pelosok Papua, terutama di wilayah PTP, sebagai daerah basis “Gembalaan” Saudara-Sauraku Kaum Kristiani sebelum ini. Sehingga hal ini harus dilakukan pembelaan oleh kaum intelektual Papua.
Untuk itu tidak kurang dari Tuan Dr. Sofyan Nyoman, Sadius Wonda dan Sem Karoba, seorang Mahasiswa Program Doktor Universitas Oxford Inggris pun harus “turun gunung” ikut ambil bagian dalam kesempatan ini, dengan menerjemahkan suatu artikel hasil perkiraan konferensi yang dilakukan di Australia. Sebagaimana kekhawatiran itu terlihat dari opini yang ditulis oleh seorang pengamat dari Autralia; Elizabeth Kendal berikut ini :
Jika kecederungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akan menjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun 2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akan turun menjadi 15 persen minoritas pada 2030. Demikian prakiraan dalam sebuah konferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. Jim Elsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS).
Walapun selalu dan dimana-mana perkiraan tanpa penelitian lapangan vadilitas akurasi kebenaran selalu tentatif, namun penting diperhatikan disini, bahwa benar ada suatu kejadian yang itu sebagai momok yang sangat menghawatirkan Saudara-Saudaraku, para pemuka masyarakat, terutama pejuang Papua adalah kepentingan dan tujuan penulisan ertikel disini untuk mengklarifikasinya. Disamping itu oleh akibat sekunder lainnya kita tidak selamanya dapat mempertahankan diri akan genuisitas diri. Kita selalu merasa tidak pernah siap, kalau-kalau terlebur (konversi) kedalam kelainan yang lain. Kita banyak berjumpa dengan yang lain dan baru, pada saat sama kita ingin membiarkan keunikan diri sebagai Yang Maha Unik, sebagai diri, orang Papua.
Tapi benar sedemikian mengkhatirkankah fakta sesugguhnya dilapangan? Bagi
penulis yang tidak ikutan khawatir dengan tegaknya Adat dan demokrasi, sebagai tonggak baru perjuangan OPM mengganggap bahwa kedepan pasti tetap terjadi perubahan, apapaun perubahan itu. Pasalnya, dimanapun kita selalu tidak steril terhadap transformasi nilai-nilai baru. Peleburan nilai baru kedalam nilai lama (akulturasi-inkulturasi) selalu dan dimana-mana selamanya dimaksud dengan kebudayaan. Demikian juga dengan Papua, transformasi nilai-nilai baru kedalam nilai lama budaya Papua akan terus menghegemoni era dunia informasi modern ini. Tapi catatan saya nilai yang akan menghegemoni dunia nanti yang terus berubah tidak sebagaimana yang diprediksikan dalam perkiraan konferensi di Australia itu. Hegemoni nilai yang akan mendominasi di Papua Barat adalah secularisme dan nilai Amerikanisme. Walau apakah nilai baru tersebut positif atau negatif, akan menjadi mendominasi di Papua Barat kedepan.
Mengapa Americanisme? Untuk saat ini negara manapun, (Presiden Prancis, pernah mengeluh soal ini di forum negara-negara Eropa), bahwa hegemoni budaya Americanisme begitu menghegemoni dunia manapun tanpa batas sebagai akibat
kemudahan tekhnologi informasi dewasa ini. Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia mengimpor tidak saja produk tekhnologi industrinya tetapi juga ideologi liberalisme berbungkus HAM dan demokrasi kesemua negara-negara dunia ketiga, sebagai syarat agar mendapatkan kucuran bantuan ekonomi dari IMF yang dikontrolnya. Austaralia, Inggris dan negara sekutu Amerika lainnya ada dibelakang, mendukung semua kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya adalah modal utama Amerika sebagai negara super power tak tertandinggi oleh ideologi manapun saat ini masih berjalan. Ada beberapa tokoh dari negara Amerika Latin, Cina dan Iran dibawah kepemimpinan Ahmadi Nejad memcoba melakukan perlawanan, namun Amerika tetap lebih masuk akal mendominasi peradaban dunia abad 21 ini.
Soal issu agama saya rasa bukan faktor utama masalah Papua, dan oleh Papua untuk Papua. Semua agama sesungguhnya di tanah Papua datang setelah kita semua orang Papua sudah ada. Semua agama diimport ke Papua mau dibiarkan menggeregoti adat dan budaya atau mencegahnya, sehingga jangan masuk adalah suatu hal yang akhirnya; ah bisakah? Sebab watak agama besar yang bersumber Abrahamic religian (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah universal dan dapat diterima dimanapun dan pada suku bangsa manapun. Atau orang menganutnya, tatakala agama itu datang dimana saja tempatnya. Papua tidak mungkin steril dari agama besar dunia manapun. Kita hanya waspadai dampak negatif Agama adalah yang terpenting menurut saya.
Sebenarnya agama apapun kalau boleh jangan merusak tatananan adat dan budaya Papua. Tapi kalau mau diterima semuanya, sebenarnya semuanya sudah masuk dan telah berperan merusak tatanan adat dan budaya Papua itu pada saat sekarang ini. Tinggal bagaimana kita kembangkan sikap siap menghadapinya (perubahan itu), dan sikap itu alatnya hemat saya adalah sikap demokrasi dan penegakan HAM adalah lebih penting dari pada mempersoalkan sesuatu yang sesungguhnya bukan asli produk (Made In Papua) membuat kita akhirnya terpolarisasi. Kita Rakyat Papua akhirnya hanya percuma membuang energi menetapkan ini dan membuang yang itu, adalah suatu usaha kesia-siaan saja.
Tujuan utama kita sekarang adalah bagaimana mengusir penjajah bukan urus kepercayaan agama. Agenda terpenting perjuangan OPM adalah bagaimana bebas dari: Penghinaan, perbudakan, penjajahan, Kebodohan, ketakutan, dari semua hegemoni budaya asing, termasuk budaya Asia dan agama yang merusak tatanan adat dan budaya kita. Perjuangkan OPM kedepan tidak hanya perjuangan melawan penjajah tapi semua bentuk hegemoni budaya luar asing yang merusak tatanan adat budaya (Honai Kaneke), itu kalau kita mau konsisten terhadap diri sendiri dan perjuangan OPM. Perjuangan OPM juga menyangkut memahami kekurangan dalam diri sendiri dan mengembangkan potensi. Hal-hal yang bersifat feriveral harusnya bukan tema utama Perjuangan Papua merdeka seperti misalnya soal agama, sebaiknya tidak di kedepankan dulu disini, tapi kita ambil manfaat kebaikan agama.
B. PERJUANGAN OPM PENDEKATAN INTELEKTUAL
Dewasa ini perjuangan tidak sebagaimana para pejuang OPM “garis keras”, para generasi muda koteka lebih sering dan cenderung menempuh perjuangan dengan pendekatan intelektual. Diantara para pejuang dengan pendekatan intelektual (moderat) itu adalah Sadius Wonda yang bukunya yang berjudul; “Tenggelamnya Ras Melanesia”, yang kemudian disita oleh pihak Kejaksanaan Negeri penjajah RI di Jayapura beberapa minggu yang lalu.
Pergeseran ini tiada lain, sebagai akibat banyaknya generasi muda Koteka mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Lewat tulisan-tulisannya, Sem Karoba dkk AMP; juga misalnya, pernah menerbitkan buku dengan judul “PAPUA MENGGUGAT” dalam beberapa edisi yang kini masih tersebar di berbagai tokoh buku gramedia dan ikut “nongkrong” di pajang di lantai dasar gedung Parlemen Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta.
Perjuangan intelektual demikian sudah dilakukan sudah sejak lama, sebelum PDP berkongres yang kedua pada tahun 2000 di GOR Jayapura. Benny Giay, Doktor (Phd-nya) diraih di Universitas Negeri Leiden Belanda, telah lama menulis dan melakukan perlawanan dengan gaya tulisan revolusioner. Karena itu beberapa bukunya pernah dilarang terbit di Indonesia dan ditarik dari peredaran di pasar buku. Kemudian menyusul Dr. Sofyan Nyoman dari Suku Dani. Buku pertamanya tentang: “New York Agreeman”, sukses dan kini terbit lagi bukunya yang (mungkin) kedua, dengan judul “Genosida Papua Barat”.
Dari kalangan mahasiswa yang produktif dan sangat amat membanggakan adalah buku
Saudara Natalis Pigay; “Evolusi Politik Nasionalisme Papua Barat”. Dengan kelengkapan data dan informasi baru dalam buku ini kualitas sudah menunjukkan disini. Sehingga buku ini menurut hemat saya, pertama dan terakhir tentang informasi perkembangan segala tetek-bengek tentang Perjuangan Kemerdekaan Papua. Buku ini diberi yang pengantar oleh Dr. Castle, dosen tamu UGM dari Australia, semakin menambah bobot karya buku anak muda inteletual Papua ini.
Disamping itu teman-teman Koteka Suku Moni (Mee), cukup produktif, semasa masih berstatus mahasiswa, sudah mampu menulis buku dalam 4 bahasa, hal ini dibuktikan oleh Victor Yeimo. Demikian juga yang saya amati dari Saudara Yacobus F Dumupa, semasa menjadi mahasiswa STPDN sudah sanggup menulis buku dan artikel yang cukup produktif, sebagaimana juga pernah dilakukan Natalis Pigay. Mengikuti jejak Pigay, anak-anak Paniai lebih berprestasi dan produktif dalam menulis. Sebagai anak Koteka dari Moni mereka lebih berani menulis dan ini sudah di buktikan oleh Yacobus F Dumupa dan Viktor Yeimo dalam beberapa karya bukunya yang dapat dijumpai di semua tokoh buku Gramedia Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Ismail Asso |
Editor | : Admin |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya