DETIKINDONESIA.CO.ID, PAPUA – Nilai-nilai budaya sebagai identitas orang asli Papua memang sudah dilumpuhkan dan dicabut dari akar-akarnya, atas dampak dari kebijakan pemerintah Indonesia yang sentralistik dengan Budaya Jawa. Ada benturan budaya antara Budaya Melayu dan Budaya Papua.
Budaya Papua yang di warisi oleh orang Papua dipandang lebih rendah, dan manusia juga dipandang rendah. Papua diindentik dengan “Koteka” baju tradisional penduduk pedalaman bagi kaum pria. Budaya Papua dianggap primitif yang harus dibarui atau di Indonesiakan.
Pendeta Phil Karel Erari berpendapat bahwa pendekatan pembangunan, a.l. yang meliputi kebijakan sistem hukum dan pemerintahan serta pendidikan yang di berlakukan dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi di Papua, praktis merupakan fotokopi dari seluruh perangkat kebijakan pembangunan di Jawa dan provinsi lainnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam dunia pendidikan, seluruh kurikulum dan buku-buku panduan, ditetapkan tanpa mempedulikan konteks budaya dan latar belakang sejarah yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia. Anak-anak peserta didik di Papua “dicetak” sesuai format yang berlaku umum di Indonesia, tanpa peduli bahwa ada nilai-nilai budaya, seperti bahasa lokal, nama adat atau nama tanah yang harus dihormati. Semua bentuk bangunan gedung sekolah disamaratakan seperti di Pulau Jawa, tanpa mempertimbangkan kondisi dan suhu daerah di Tanah Papua.
Bahasa juga bagian dari kebuadayaan dan pencerminan identitas suatu bangsa. Papua terdiri dari 250 suku. Dari jumlah ini mempunyai bahasa sendiri. Bahasa merupakan jati diri suatu bangsa itu dapat dimengerti oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia yang mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu, hanya omong kosong belaka. Bahasa yang dimiliki penduduk orang asli Papua benar-benar dihancurkan dan dimusnahkan. Terjadi diskriminasi kejam di tanah Papua. Bahasa daerah yang seharusnya menjadi bahasa pengantar di setiap sekolah sesuai dengan tempat lembaga pendidikan itu berada tidak pernah digunakan. Sebaliknya, di Pulau Jawa, Sumatra dan daerah-daerah orang Melayu, Indonesia, diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan bahasa asli dijaga, dipelihara dan dilestarikan sebagai bahasa ibu. (Dr. Socratez Yofyan Yoman : 2012, Hal. 256 – 257).
Memang kesalahan pemerintah adalah tidak memasukan bahasa daerah sebagai muatan lokal di semua level pendidikan di Papua. Hal ini disebabkan oleh karena di Papua saja terdapat sekitar 250 bahasa ibu. Hampir setiap daerah terjadi perbedaan bahasa yang sangat signifikan. Yang harus dilakukan adalah mendukung peran orang tua untuk selalu menggunakan bahasa daerah di dalam rumah atau di lingkungan-lingkungan keluarga dan kesukuan.
Kadang kita malu dan jaga citra bahwa menggunakan bahasa daerah adalah orang yang kuno dan ketinggalan zaman, padahal justru orang yang berpikir demikianlah yang perlu dipertanyakan. Bahasa merupakan kebudayaan pertama yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, jika orang sudah tidak lagi menggunakan bahasa daerah, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan pertama yang dimilikinya hilang, lalu pertanyaan berikut bagimana dengan kebudayaan-kebudayaan berikut dapat dipastikan akan punah dengan sendirinya.
Ada perasaan ketinggal zaman, jika menggunakan bahasa ibu. Dalam konteks ini malah sebagian orang tua mesara bangga jika anak mereka tidak tahu meneturkan bahasa ibu. Situasi ini bukan hanya terjadi pada anak-anak Papua saja, tetapi juga pada orang dewasa. Orang Papua yang dewasa sudah banyak meninggalkan budayanya sendiri, terlebih bahasa daerahnya. Mereka lebih tertarik kepada budaya pop-nasional, budaya global yang bernuasa “modern”. Mereka juga malas mendengar jika ada yang mengunakan bahasa daerah di tempat-tempat umum kita tidak bisa. Aneh bukan? Banyak orang Papua sudah tidak mau mendengar lagu-lagu bahasa daerah, namun lagu-lagu pop Indonesia dan Barat sangat disukai, hal ini dilakukan agar tidak ketinggalan zaman. Hal ini baik, namun harus selalu ada ruang bagi musik dan lagu-lagu daerah. Ignas G. Saksono dan Djoko Dwinyanto ( 2011 : 32 ) menjelaskan bahwa, “Nilai-nilai tradisional Jawa itu juga ditanamkan oleh orang-orang tua Jawa kepada anak-anaknya. Bagi orang Jawa, menjadi seorang Jawa berarti menjadi manusia yang berbudaya manusia beradab, yang mengetahui tempatnya (nasibnya) dan mengetahui bagimana seharusnya bertingkat laku. Singkatnya, manusia yang mengetahui tatanam.
Artinya ada usaha yang luar biasa dilakukan oleh orang Jawa untuk tetap mempertahankan tradisi kearifan lokal yang secara perlahan tetapi pasti sedang hilang dalam kehidupan orang Jawa. Orang Jawa mengharapkan anak-anaknya haruslah menjadi generasi yang tahu diri dan memiliki tatanam hidup yang bertanggung jawab.
Mari kita kembali dengan masalah kita, apakah orang-orang Papua sedang melakukan proteksi dan pelestarian terhadap budaya lokal atau dibiarkan saja dengan tidak bertanggung jawab. Silahkan Anda cermati, bertidak level tinggi namun mereka lupa hal-hal tersebut tidak Budaya Papua.
Harus ada langkah konkret untuk orang Papua. Telah berada pada tahap yang sangat memprihatinkan, orang yang mengenakan tradisional menjadi bahan lelucon dan tertawaan serta dianggap kuno ketinggalan zaman. Orang Papua harus memiliki sikap sebagai pemenang dalam mempertahankan keaslian budaya, sebab itulah indetitas Papua.
Harus ada moral yang kuat dan identitas untuk tetap merasa bahwa apa yang kita miliki adalah pemberian Tuhan yang sangat luar biasa. Mempertahan budaya baik ditingkat desa, distrik, kabupaten dan provinsi. Pagelaran-pagelaran budaya perlu terus ditingkatkan. (Wempi Wetipo, SH.,MH & Marthen Medlama, S.Pd : 2012, Hal. 122 – 126).
Ada dominasi dan pengambilalihan dengan menyingkir penduduk asli Papua dalam seni ukir, dan kerajinan tangan. Ukir-ukiran seperti patung-patung dari Merauke, Biak, Manokwari, Noken, Gelang Tangan, Koteka yang dimiliki orang asli Papua, baik secara ekonomi. Selain seni ukir-ukiran, baju-baju batik yang bermotif nilai-nilai Budaya Papua juga dimonopoli dan dijual oleh pendatang. Orang Penduduk Asli Papua sebagai pemilik ditempatkan sebagai pembeli barang-barang bernilai budaya milik mereka. Tidak ada perundang-undangan, seperti Peraturan Daerah (Perda) untuk memproteksi dan berpihak kepada penduduk Asli Papua. Ini salah satu bentuk proses pemiskinan dan pemusnahan hasil karya orang Asli Papua.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Sepi Wanimbo |
Editor | : Michael |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya