Kedua, kelompok buzzer yang dianggap pro pemerintah selama ini dinilai publik sebagai orang-orang yang kebal hukum. Beberapa kali blunder dan dilaporkan, tapi tetap saja tidak diproses. Termasuk dalam kasus Sang Aktivis. Kekecewaan publik sudah seringkali dilontarkan ke ruang publik, tapi tetap saja tidak digubris.
Ketiga, publik menilai para buzzer pro pemerintah ini ternyata memiliki akses dan koneksi dengan elit-elit kekuasaan serta para oligarki. Sehingga ini menguatkan anggapan bahwa para juru dengung ini “sengaja dipelihara” oleh elit kekuasaan dan oligarki. Tujuannya untuk mengimbangi suara-suara kritis kelompok oposan. Penulis tidak perlu mencontohkan praktek patron-client ini, karena publik sudah sangat mafhum.
Keempat, ini agak konspiratif, menyangkut apakah ini peristiwa by accident atau by disign. Menginggat, jamak terjadi biasanya ada operasi intelijen yang menumpang dalam satu momentum tertentu. Tentu ini bukan operasi legal, tapi semacam operasi klandestin “swasta”. Tujuannya bisa macam-macam, seperti ingin membangun stigma buruk terhadap demonstran, atau menyudutkan kelompok agama tertentu. Karena isu yang dimainkan belakangan setelah peristiwa pemukulan tersebut, para buzzer menuduh kelompok kadrun atau kelompok Islam radikal yang berada di belakang aksi tersebut.
Kalau latar belakang ini sudah kita pahami, maka akan semakin terang mengapa Sang Aktivis dianiaya. Peristiwa pemukulan yang terjadi kemarin boleh jadi sebagai semiotika yang dikirimkan kepada aparat, pemerintah dan para buzzer yang dinilai kebal hukum.
Berikut pesan semiotik yang dapat penulis tangkap dari peristiwa tersebut, sebagai berikut:
Pertama, pesan pertama yang ingin disampaikan bahwa, publik sudah gerah dengan tingkah laku para buzzer pro pemerintah atas segala sepak terjangnya selama ini. Secara implisit massa yang terlibat menghajar sang aktifis, ingin menyampaikan bahwa “kami dendam” kepada kalian. Dendam yang barangkali tumbuh, ketika tidak berdaya meluapkan kemarahannya terhadap seseorang atau kelompok. Dendam publik (public revenge) penulis artikan sebagai kemarahan yang meluap-luap pada sebagian masyarakat, sebagai bentuk reaksi atas berbagai kondisi atau peristiwa. Kemarahan ini memuncak menjadi dendam, karena tidak memiliki kemampuan untuk melawan orang atau kelompok tersebut. Van Zomeren et al. (2008b) menggunakan istilah tindakan kolektif. Tindakan yang dilakukan anggota suatu kelompok yang mengarah pada upaya menghilangkan penyebab persoalan yang dipersepsikan. Manifestasinya menurut Backer (2012) bisa dalam bentuk tindakan kolektif skala kecil maupun besar seperti menandatangani petisi, kampanye, demonstrasi maupun kerusuhan. Manifestasi dendam publik dalam bentuk kekerasan merupakan salah satu tindakan kolektif, yang selalu berupaya mencari kanalisasi untuk mewujud. Ia akan terus mencari momentumnya sendiri. Oleh karenanya peristiwa serupa potensial terjadi juga pada “aktivis-aktivis” yang lain.
Kedua, pesan semiotik kedua adalah pesan kepada para “aktivis” buzzer pro pemerintah, para aparat pemerintah bahwa, para buzzer boleh jadi kebal hukum tapi tidak kebal dengan “bogem” amarah publik. Ini semacam sinyal kemarahan dan kekecewaan dengan penegakan hukum di tanah air. Penegakan hukum dianggap tidak adil, cenderung tajam ke pihak oposisi, namun tumpul kepada para pendukung kekuasaan. Penganiayaan terhadap sang aktivis merupakan pesan semiotik bahwa, jika hukum tidak berlaku adil, maka pengadilan jalanan yang akan dimainkan.
Ketiga, pesan semiotik berikutnya adalah ketika kekerasan dilakukan berarti ada isyarat bahwa mekanisme dialektika yang lebih soft tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mestinya, perbedaan pendirian politik bisa diuji di medan dialektika diskursif, tapi mengapa kekerasan dilakukan. Secara implisit penulis melihat ada mekanisme demokrasi yang tidak berjalan semestinya. Ada indikasi telah terjadi pembungkaman demokrasi. Kebebasan berpendapat dibatasi, oposisi “dimatikan”, penegakan hukum tebang pilih. Jika ini benar terjadi, berarti jangan-jangan kita sedang menuju jalan de-demokrasi (untuk tidak menyebut kematian demokrasi).
Berdasarkan telaah di atas, dapat disimpulkan kekerasan yang terjadi pada sang aktivis adalah bentuk dari lingkaran kekerasan atau dalam siklus aksi reaksi. Kekerasan terjadi, karena ada kekerasan yang terjadi sebelumnya. Ingat kata Johan Galtung bahwa kekerasan tidak selalu fisik, boleh jadi kekerasan verbal, kekerasan kultural maupun kekerasan struktural. Penggunaan narasi yang dianggap memojokkan kelompok tertentu adalah bentuk kekerasan verbal, meskipun tidak diungkapkan dengan kasar. Ketidak-adilan dalam penegakan hukum adalah bentuk kekerasan struktural, yang dalam bahasa Dom Helder Camara bisa menimbulkan spiral kekerasan.
Sebagai penutup kita perlu melakukan refleksi, apakah kita pernah melakukan kekerasan (baik verbal, fisik maupun psikis) kepada orang lain. Jika pernah, maka kemungkinan besar kekerasan akan terjadi pula pada kita. Demikian juga pemerintah, harus merefleksi apakah kekerasan struktural terus terjadi, maka jika itu terjadi, cepat atau lambat kekerasan lain akan bermunculan membentuk lingkaran kekerasan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Eka Hendry Ar |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2