Meski sengketa ini telah mencapai titik temu, kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi warga negara Indonesia dalam sengketa medis di luar negeri. Dalam pernyataan terpisah, Allen & Gledhill LLP meminta perhatian Pemerintah Indonesia, khususnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), untuk lebih aktif dalam memberikan bantuan hukum bagi warga yang menghadapi masalah serupa. Mereka menegaskan bahwa tanpa perlindungan hukum yang jelas, kasus serupa dapat kembali terjadi dan berpotensi merugikan pasien asal Indonesia.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Indonesia terkait permohonan tersebut. Namun, permintaan ini kembali menyoroti peran MKDKI dalam menangani sengketa medis yang melibatkan dokter dan pasien, baik di dalam maupun luar negeri.
Sebagai lembaga yang berwenang dalam menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi, MKDKI memiliki beberapa kewenangan utama, termasuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan dalam praktik medis, menetapkan sanksi bagi tenaga kesehatan yang melanggar, serta memastikan kepatuhan terhadap standar profesi. MKDKI juga memiliki wewenang untuk merekomendasikan pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi tenaga medis yang terbukti melakukan kesalahan, dengan batas waktu pelaksanaan keputusan maksimal 30 hari kerja.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun pengaduan ke MKDKI dapat menjadi jalur penyelesaian, pasien atau pihak terkait tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan guna memperoleh kompensasi atas kerugian yang dialami. Namun, dalam sengketa seperti yang dialami Tjhe Soi Khim, pertanyaan yang muncul bukan hanya soal perlindungan pasien, tetapi juga mengenai keseimbangan dalam hukum medis.
Menanggapi hal ini, kuasa hukum Dr. Aturkian Laia, AH., MH. dan Dr. Fetrus, SH., MH.—pakar hukum kesehatan sekaligus penulis buku Pelindung Hukum terhadap Tenaga Kesehatan dalam Sengketa Medis dan Malpraktik Kedokteran—menyoroti pentingnya regulasi yang adil bagi kedua belah pihak.
Menurut mereka, dalam sengketa medis, terdapat garis tipis antara dugaan malapraktik dan komplikasi medis yang tidak dapat dihindari. “Kasus seperti ini tidak hanya berdampak pada pasien, tetapi juga terhadap tenaga medis yang memberikan perawatan. Jika tidak ada kejelasan dalam regulasi, tenaga medis bisa menjadi pihak yang selalu disalahkan,” ujar Dr. Fetrus.
Sementara itu, Dr. Aturkian Laia menambahkan bahwa tanpa perlindungan hukum yang memadai, sengketa medis sering kali berujung pada tekanan hukum dan finansial bagi tenaga kesehatan, bahkan ketika mereka telah bertindak sesuai standar profesi. “Negara harus memiliki mekanisme perlindungan yang seimbang, baik bagi pasien maupun tenaga medis. Jangan sampai dokter menghadapi tuntutan berlebihan atau tidak berdasar,” ungkapnya.
Keduanya juga menegaskan bahwa peran Pemerintah Indonesia, terutama KBRI di Singapura dan MKDKI, sangat krusial dalam memberikan perlindungan bagi tenaga medis dan pasien yang terlibat dalam sengketa di luar negeri. Kasus ini menjadi pengingat bahwa sengketa medis tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga menyangkut keadilan bagi semua pihak yang terlibat, baik pasien maupun tenaga kesehatan. (Red)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : |
Editor | : |
Sumber | : |
Halaman : 1 2