DETIKINDONESIA.CO.ID, JAKARTA – Webinar Nasional bertema “Menelisik Perizinan Tambang Yang Merugikan Negara; IUP Mati Hidup Kembali Ulah Mafia Tambang Dan Mafia Hukum” pada hari, Jumat, (13/5/2022).
Acara webinar di selenggarakan Institute energi pertambangan dan insdustri strategis dan juga menghadirkan sejumlah tokoh nasional antara lain Rusda Mahmud, Anggota Komisi VII DPR RI), Dr. Ridwan Jamaluddin, Dirjen Minerba KESDM, Prof.Dr. Abrar Saleng, Akademisi Unhas, Dr.Ahmad Redi, Akademisi UNTAR, Sunarto Efendi,SH, Peneliti Pusat Studi Energi dan Pertambangan serta DR.Lukman Malanuang selaku Direktur Eksekutif INPIST.
Menurut DR.Lukman bahwa Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara memiliki peranan penting dalam memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dampak ini akan dapat dirasakan secara nyata apabila kegiatan usaha pertambangan dikelola dengan baik dari hulu hingga hilir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lukman Malanuang melihat Pengelolaan izin pertambangan, termasuk pemberian izin harus dilakukan secara selektif dan hati-hati serta sesuai dengan hukum yang berlaku. dimana Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, izin pertambangan diatur dalam Pasal 37 bahwa izin usaha pertambangan (lUP) diberikan oleh bupati/walikota jika wilayah tambang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota; IUP diberikan oleh Gubernur jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, dan IUP diberikan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah provinsi. Kata Dr.Lukman Malanuang
Lanjut Dr.Lukman bahwa Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah segala kewenangan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara diberikan kepada pemerintah Provinsi termasuk juga kewenangan untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dengan ini, maka Pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan IUP. Selanjutnya, pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kewenangan pemberian izin usaha pertambangan kembali berubah dari Pemerintah Provinsi menjadi domain Pemerintah Pusat.
Terkait dengan pemberian izin tersebut (baik pada saat dilakukan oleh Bupati/Walikota atau oleh Gubernur) dalam praktiknya terdapat sejumlah persoalan mulai dari tumpang tindih IUP, pemberian izin secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan (tanpa dokumen AMDAL), tanpa studi kelayakan, tidak membayar pajak dan PNBP, tanpa jaminan reklamasi pasca tambang, tanpa program pemberdayaan masyarakat dan dokumen pasca tambang hingga pemberian IUP untuk elit politik tertentu dengan “deal-deal politik yang merugikan rakyat”. Hal ini kemudian berdampak pada eksploitasi besar – besaran atas pertambangan mineral dan batubara, merusak lingkungan kawasan hutan, sungai dan danau, tumpang tindih lahan, tidak membayar pajak dan PNBP yang pada akhirnya merugikan negara dan memiskinkan rakyat disekitar wilayah pertambangan. Ujar Dr.Lukman Malanuang yang juga Pengurus Majelis Nasional KAHMI.
Ia menegaskan Bahkan terdapat beberapa kasus yang terjadi di daerah dimana pelaku usaha ‘nakal’ memanfaatkan celah hukum untuk memperoleh IUP yang sudah dicabut/dibatalkan agar dapat hidup kembali dengan dugaan kuat dilakukan melalui serangkaian ‘akrobat hukum’ baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara bahkan ke Mahkamah Agung. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah putusan pengadilan yang terasa ‘janggal’ dan menguntungkan pelaku usaha “nakal”. Ujar Lukman
Sementara Rusda Mahmud dan Prof. Abrar Saleng dalam paparannya menyampaikan tentang bagaimana seharusnya proses hukum yang benar bagi pelaku usaha dalam menempuh proses hukum apabila IUPnya dicabut/dibatalkan. Selain itu, mantan Bupati Kolaka Utara itu juga menyampaikan sejumlah masalah terkait dengan perizinan tambang pada saat dirinya menjabat sebagai Bupati yaitu dalam kurun waktu 2007 – 2017.
Prof. Abrar Saleng mengupas secara komprehensif mengenai mafia hukum dalam pertambangan. Guru Besar Unhas itu juga memberikan pandangan tentang peran putusan PTUN dan Ombudsman RI untuk pengaktifan IUP, termasuk bagaimana implikasi hukum putusan PTUN dan LAHP Ombudsman RI. Menurutnya Putusan PTUN dan LAHP Ombudsman RI mengacaukan administrasi dan penertiban IUP, sebab putusan TUN dan LAHP Ombudsman RI diperoleh tanpa dilakukan pemeriksaan setempat atas objek perkara, karena hanya terkait dengan maladministrasi oleh pejabat yang berwenang.
Di sisi lain, Ahmad Redi banyak menyoroti soal pencabutan IUP yang dilakukan oleh Pemerintah beberapa waktu lalu. Menurutnya pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dan ‘ugal-ugalan’ dalam mencabut ribuan IUP tanpa melalui pemeriksaan yang benar (due process of law). Tidak hanya itu, Redi juga menyoal tentang kewenangan Menteri Investasi dan Kepala BKPM dalam mencabut IUP. Dalam paparannya Redi juga menyampaikan bagaimana seharusnya prosedur yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam mencabut IUP.
Selanjutnya, pada sesi diskusi dan tanya jawab didahului dengan priority comment dari para pakar dan akademisi. Dalam sesi ini baik priority comment maupun peserta banyak menanyakan atau memberikan komentar tentang kisruh sejumlah perusahaan tambang di daerah yang izinnya bermasalah, khususnya di Kabupaten Kolaka Utara, yakni PT Riota Jaya Lestari (PT RJL), PT Citra Silica Mallawa (PT CSM), dan PT Putra Dermawan Pratama (PT PDP). PT Riota Jaya Lestari (RJL); Izin Hidup Kembali setelah 8 Tahun Mati.
PT RJL merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang IUP-nya sudah dibatalkan oleh Bupati Kolaka Utara pada tahun 2014. Namun sekitar 8 (delapan) tahun kemudian, yakni pada tahun 2021 Surat Keputusan tentang pembatalan IUP-OP PT RJL digugat ke PTUN dan majelis hakim yang memeriksa perkara a quo memenangkan/mengabulkan gugatan PT RJL.
Mengenai hal tersebut, Rusda Mahmud, selaku mantan Bupati Kolaka Utara periode 2012-2107 (yang mencabut IUP-OP PT RJL) menyampaikan bahwa alasan pencabutan IUP-OP PT RJL saat itu adalah berdasarkan catatan koordinasi dan supervisi sektor mineral dan batubara KPK. Lebih lanjut, Rusda mengaku tidak mengetahui dan heran mengapa pengadilan mengabulkan gugatan PT RJL, padahal prosedur dan batas waktu pengajuan gugatan di PTUN diatur secara tegas dan ketat dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 55 UU PTUN disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Mul |
Editor | : Delvi |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya